Tuhan
pasti memiliki alasan untuk penciptaan manusia. Sebelum kita dapat menghirup
napas, sketsa hidup kita sudah terlukiskan terlebih dahulu. Ia tergambar oleh
Allah dengan segala keindahaanya. Hanya saja, kita diberi tugas untuk mewarnai
sketsa tersebut agar lebih indah dengan warna yang demokratis. Ia membebaskan
kita untuk memilih dan memilah warna untuk keindahan hidup kita. Tentu saja
dengan beberapa batasan agar sketsa hidup kita harmoni dengan warna yang kita
pilih. Batasan yang ia sampaikan dengan teguran yang humanis. Mungkin dengan
kesedihan, kebahagiaan bahkan dengan kematian semata-mata untuk mengingatkan
siapa sejatinya sang pencipta diri dan hidup kita. Lantas, kita tak perlu
bertanya-tanya atas sikap orang kepada kita? Toh, kita sudah terlalu sibuk
menentukan warna yang paling tepat untuk sketsa hidup kita. Sketsa hidup ini
adalah amanah. Layaknya titipan yang harus dijaga dan dipelihara. Jika kita
sukses menjaga amanah tersebut, kita akan mendapatkan kecintaan dari
pemiliknya. Jika tidak, kita tidak akan dipercaya untuk mendapatkannya lagi.
Adakah
sketsa hidup yang jelek?
Tentu
saja tidak! Karena sejatinya sketsa itu adalah mahakarya yang diciptakan oleh
adicipta. Sejatinya bukan sketsanya yang jelek, namun orang menerima amanah
yang tidak menjaganya dengan sepenuh hati. Sudut pandang sebagai penikmat
kehidupan tentunya memiliki perbedaan dalam menilai sketsa yang kita punya. Hanya
sang adicipta yang bisa menentukan yang terbaik. Layaknya film, bukan naskahnya
jelek namun aktornya mungkin belum terlalu baik memerankannya. Begitu juga
dengan (sketsa) hidup. Bukan takdir yang salah, namun kita bisa menerima atau
tidak.
Banyak
orang yang memiliki sketsa (takdir) hidup yang tidak terlalu beruntung, namun
ia bisa menerima. Sehingga ia tak terlalu larut dalam ketidakberuntungannya,
namun ia terlalu sibuk untuk mewarnai sketsa hidupnya dengan tinta emas berupa
kesabaran, perjuangan dan doa restu pada sang empunya sketsa. Namun, tidak
sedikit juga orang yang larut dengan kesempurnaan skestsa (takdir) yang ia pun.
Sehingga ia lupa tidak ada yang abadi dan sempurna di bawah kolong langit ini.
Ia terlena. Ia diamanahkan oleh Allah dengan jabatan yang tinggi, harta
melimpah, dan sederet kemewahan lainya. Namun ia lupa dengan si empunya semunya
yang ia miliki. sehingga ia merasa kekosongan dalam dirinnya, yaitu kosongnya
nilai ketauhidan dalam dirinya.
Comments
Post a Comment