Pertanyaan yang pertama kali muncul dari benak pembaca dari tulisan saya saat ini, mungkin bertanya, kenapa membahas antara penyakit yang ada di dalam hati dan tubuh? kali ini saya bukannya tidak memiliki alasan sebagai penulis untuk ini. saya hanya teringat dengan ceramah khotbah jum'at siang tadi. dalam khotbah itu menyinggung soal hal-hal yang dicabut allah dan dikembalikan allah kepada orang yang sedang sakit.
dalam khotbahnya, khatib menerangkan bahwa jika seseorang sedang mengalami sakit, maka allah mencabut beberapa hal. yaitu:
Dari artikel 'Tanda Hati yang Sakit — Muslim.Or.Id'
dalam khotbahnya, khatib menerangkan bahwa jika seseorang sedang mengalami sakit, maka allah mencabut beberapa hal. yaitu:
- Muka berseri-seri pada wajahnya
- Rasa enak pada lidahnya
- Kebebasan untuk aktifitasnya
- Dosa (catatan wajib: Bagi yang tawakal)\
Namun, Allah mengembalikan hanya 3 hal saja setelah dia sembuh yaitu:
- Muka berseri-seri pada wajahnya
- Rasa enak pada lidahnya
- Kebebasan untuk aktifitasnya
kenapa Allah tak mengembalikan Dosa? karena allah tak mau mengembalikan dan memberikan hal buruk pada hambanya.
mungkin, kalau sakit tubuh mungkin bisa di diagnosis oleh dokter. dengan alat yang canggih dan sebagainya dengan kemajuan medis saat ini. namun dengan kenyataan itu, ada yang tak dapat didiagnosis oleh dokter sepinter apapun, dengan alat medis canggih apa pun. apa itu ? Hati yang sakit jawabnya.
Hati adalah segumpal darah yang terletak di tubuh manusia, jika baik organ itu, maka baik pula individunya.
Hati adalah segumpal darah yang terletak di tubuh manusia, jika baik organ itu, maka baik pula individunya.
banyak hal yang dapat menyerang kekebalan hati yang suci. namun bisa ditangkal dengan penangkal yang ada.
adapun ciri- ciri hati yang sakit adalah:
A. pemiliknya condong kepada kehidupan dunia, merasa enjoy dan tenteram dengannya, tidak merasa bahwa sebenarnya dia adalah pengembara di kehidupan dunia, tidak mengharapkan kehidupan akhirat dan tidak berusaha mempersiapkan bekal untuk kehidupannya kelak disana.
Setiap kali hati sembuh dari penyakitnya, dia akan beranjak untuk condong kepada kehidupan akhirat, sehingga keadaannya persis seperti apa yang disabdakan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
كن في الدنيا كأنك غريب أو عابر سبيل
“Hiduplah di dunia ini seakan-akan engkau orang asing atau orang yang sekedar menumpang lewat” [HR. Bukhari].
B. pemiliknya berpaling dari nutrisi hati yang bermanfaat dan justru beralih kepada racun yang mematikan, sebagaimana tindakan mayoritas manusia yang berpaling dari al-Quran yang dinyatakan Allah sebagai obat dan rahmat dalam firman-Nya,
وننزل من القرآن ما هو شفاء ورحمة للمؤمنين
“Dan Kami turunkan dari Al Qur’an suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman…” (QS. Al Isra: 82).
C. pemiliknya tidak merasa risih dengan kebodohannya terhadap kebenaran. Hati yang salim akan merasa resah jika muncul syubhat di hadapannya, merasa sakit dengan kebodohan terhadap kebenaran dan ketidaktahuan terhadap berbagai keyakinan yang menyimpang. Kebodohan merupakan musibah terbesar, sehingga seorang yang memiliki kehidupan di dalam hati akan merasa sakit jika kebodohan bersemayam di dalam hatinya. Sebagian ulama mengatakan,
ما عصى الله بذنب أقبح من الجهل ؟
“Adakah dosa kemaksiatan kepada Allah yang lebih buruk daripada kebodohan?”
Imam Sahl pernah ditanya,
يا أبا محمد أي شيء أقبح من الجهل؟ قال ” الجهل بالجهل ” ،قيل : صدق لأنه يسد باب العلم بالكلية
“Wahai Abu Muhammad, adakah sesuatu yang lebih buruk daripada kebodohan? Dia menjawab, “Bodoh terhadap kebodohan.” Kemudian ada yang berkata, “Dia benar, karena hal itu akan menutup pintu ilmu sama sekali.”
D. pemiliknya tidak merasa terluka akibat tindakan-tindakan kemaksiatan sebagaimana kata pepatah ‘وما لجرح بميت إيلام’, tidaklah menyakiti, luka yang ada pada mayat. Hati yang sehat akan merasa sakit dan terluka dengan kemaksiatan, sehingga hal ini melahirkan taubat dan inabah kepada Rabb-nya ‘azza wa jalla. Hal ini sebagaimana firman Allah ta’ala,
إِنَّ الَّذِينَ اتَّقَوْا إِذَا مَسَّهُمْ طَائِفٌ مِنَ الشَّيْطَانِ تَذَكَّرُوا فَإِذَا هُمْ مُبْصِرُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya” (QS. Al A’raaf: 201).
E. hamba sulit untuk merealisasikan tujuan penciptaan dirinya, yaitu untuk mengenal Allah, mencintai-Nya, rindu untuk bertemu dengan-Nya, kembali kepada-Nya dan memprioritaskan seluruh hal tersebut daripada seluruh syahwatnya. Akhirnya, hamba yang sakit hatinya lebih mendahulukan syahwat daripada menaati dan mencintai Allah sebagaimana yang difirmankan Allah ‘azza wa jalla,
أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ أَفَأَنْتَ تَكُونُ عَلَيْهِ وَكِيلاً
Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? (QS. Al Furqan: 43).
Beberapa ulama salaf menafsirkan ayat ini dengan mengatakan,
هو الذي كلما هوى شيئا ركبه . فيحيا في هذه الحياة الدنيا حياة البهائم لا يعرف ربه عز وجل ولا يعبده بأمره ونهيه كما قال تعالى : ( يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا تَأْكُلُ الْأَنْعَامُ وَالنَّارُ مَثْوىً لَهُمْ)(محمد: من الآية12)
“Orang yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah dia yang senantiasa menunggangi hawa nafsunya, sehingga kehidupan yang dijalaninya di dunia ini layaknya kehidupan binatang ternak, tidak mengenal Rabb-nya ‘azza wa jalla, tidak beribadah kepada-Nya dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, persis seperti firman Allah ta’ala (yang artinya), ‘Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang. Dan jahannam adalah tempat tinggal mereka’ (QS. Muhammad: 12).”
Pada akhirnya, balasan sesuai dengan perbuatan, sebagaimana di dunia dia tidak menjalani kehidupan yang dicintai dan diridhai Allah ‘azza wa jalla, dia menikmati seluruhnya dan hidup menggunakan nikmat Allah untuk bermaksiat kepada-Nya, maka demikian pula di akhirat kelak, dia akan menjalani kehidupan yang tiada kebahagiaan di dalamnya, dirinya tidak akan mati sehingga terbebas dari adzab yang menyakitkan. Dia tidak mati, tidakpula hidup,
يَتَجَرَّعُهُ وَلا يَكَادُ يُسِيغُهُ وَيَأْتِيهِ الْمَوْتُ مِنْ كُلِّ مَكَانٍ وَمَا هُوَ بِمَيِّتٍ وَمِنْ وَرَائِهِ عَذَابٌ غَلِيظٌ
“Diminumnya air nanah itu dan hampir dia tidak bisa menelannya dan datanglah (bahaya) maut kepadanya dari segenap penjuru, tetapi dia tidak juga mati, dan dihadapannya masih ada azab yang berat” (QS. Ibrahim: 17).
Dari artikel 'Tanda Hati yang Sakit — Muslim.Or.Id'
jenis-jenis hati yang sakit:
Sombong
Sering orang karena jabatan, kekayaan, atau pun kepintaran akhirnya menjadi sombong dan menganggap rendah orang lain. Bahkan Fir’aun yang takabbur sampai-sampai menganggap rendah Allah dan menganggap dirinya sebagai Tuhan. Kenyataannya Fir’aun adalah manusia yang akhirnya bisa mati karena tenggelam di laut.
Allah melarang kita untuk menjadi sombong:
“Janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” [Al Israa’ 37]
“Janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia karena sombong dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” [Luqman 18]
Allah menyediakan neraka jahannam bagi orang yang sombong:
“Masuklah kamu ke pintu-pintu neraka Jahannam, sedang kamu kekal di dalamnya. Maka itulah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang sombong .” [Al Mu’min 76]
Kita tidak boleh sombong karena saat kita lahir kita tidak punya kekuasaan apa-apa. Kita tidak punya kekayaan apa-apa. Bahkan pakaian pun tidak. Kecerdasan pun kita tidak punya. Namun karena kasih-sayang orang tua-lah kita akhirnya jadi dewasa.
Begitu pula saat kita mati, segala jabatan dan kekayaan kita lepas dari kita. Kita dikubur dalam lubang yang sempit dengan pakaian seadanya yang nanti akan lapuk dimakan zaman.
Imam Al Ghazali dalam kitab Ihya’ “Uluumuddiin menyatakan bahwa manusia janganlah sombong karena sesungguhnya manusia diciptakan dari air mani yang hina dan dari tempat yang sama dengan tempat keluarnya kotoran.
Bukankah Allah mengatakan pada kita bahwa kita diciptakan dari air mani yang hina:
“Bukankah Kami menciptakan kamu dari air yang hina?” [Al Mursalaat 20]
Saat hidup pun kita membawa beberapa kilogram kotoran di badan kita. Jadi bagaimana mungkin kita masih bersikap sombong?
‘Ujub (Kagum akan diri sendiri)
Ini mirip dengan sombong. Kita merasa bangga atau kagum akan diri kita sendiri. Padahal seharusnya kita tahu bahwa semua nikmat yang kita dapat itu berasal dari Allah.
Jika kita mendapat keberhasilan atau pujian dari orang, janganlah ‘ujub. Sebaliknya ucapkan “Alhamdulillah” karena segala puji itu hanya untuk Allah.
Iri dan Dengki
Allah melarang kita iri pada yang lain karena rezeki yang mereka dapat itu sesuai dengan usaha mereka dan juga sudah jadi ketentuan Allah.
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [An Nisaa’ 32]
Iri hanya boleh dalam 2 hal. Yaitu dalam hal bersedekah dan ilmu.
Tidak ada iri hati kecuali terhadap dua perkara, yakni seorang yang diberi Allah harta lalu dia belanjakan pada jalan yang benar, dan seorang diberi Allah ilmu dan kebijaksaan lalu dia melaksanakan dan mengajarkannya. (HR. Bukhari) [HR Bukhari]
Jika kita mengagumi milik orang lain, agar terhindar dari iri hendaknya mendoakan agar yang bersangkutan dilimpahi berkah.
Apabila seorang melihat dirinya, harta miliknya atau saudaranya sesuatu yang menarik hatinya (dikaguminya) maka hendaklah dia mendoakannya dengan limpahan barokah. Sesungguhnya pengaruh iri adalah benar. (HR. Abu Ya’la)
Dengki lebih parah dari iri. Orang yang dengki ini merasa susah jika melihat orang lain senang. Dan merasa senang jika orang lain susah. Tak jarang dia berusaha mencelakakan orang yang dia dengki baik dengan lisan, tulisan, atau pun perbuatan. Oleh karena itu Allah menyuruh kita berlindung dari kejahatan orang yang dengki:
“Dan dari kejahatan pendengki bila ia dengki.” [Al Falaq 5]
Kedengkian bisa menghancurkan pahala-pahala kita.
Waspadalah terhadap hasud (iri dan dengki), sesungguhnya hasud mengikis pahala-pahala sebagaimana api memakan kayu. (HR. Abu Dawud)
Sumber: www.mindasejagat.net
Bagaimanakah Cara Mengobati Penyakit Hati?
“Izinkanlah saya berkata kepada kalian, jika kalian melangkahkan kaki di atas jalan dakwah dengan perasaan yang lebih dingin daripada perasaan hati kalian terhadap istri-istri dan anak-anak kalian, maka percayalah, kalian akan pulang dengan kegagalan yang teramat besar, sehingga generasi-generasi yang akan datang tidak berani berpikir untuk berharokah seperti ini. Hendaknya kalian melihat kekuatan hati dan akhlak kalian sebelum berniat untuk melangkah lebih jauh.” (Al-Maududi, Tadzkiroh Du’atil Islam, hlm. 57-59)
***
Mendiagnosa penyakit
Yang pertama harus dilakukan adalah mendiagnosa penyakit, karena tidak semua obat cocok dengan penyakit yang di derita. Diagnosa yang benar akan menghasilkan obat yang benar pula dan hal itu juga akan mempercepat kesembuhan.
Penyakit harus diobati dengan kebalikannya
Suatu penyakit yang membuat badan kesakitan, harus diobati dengan kebalikannya. Jika badan terasa panas, maka harus diobati dengan yang dingin. Jika badan kedinginan harus diobati dengan yang panas. Begitu akhlak-akhlak yang hina, yang termasuk penyakit hati, harus diobati dengan kebalikannya. Penyakit kebodohan harus diobati dengan ilmu, penyakit kikir harus diobati dengan kedermawanan, penyakit takabur harus diobati dengan tawadhu’, penyakit rakus harus diobati dengan menghentikan hal-hal yang menggugah nafsunya. (Ibnu Qudamah, Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 192 Penerbit Pustaka Al-Kautsar (1997))
Kekuatan hasrat
Yang sangat diperlukan orang yang melatih jiwanya sendiri adalah kekuatan hasrat. Selagi dia maju mundur, tentu tidak akan berhasil. Selagi merasa hasratnya melemah, maka dia harus bersabar. Jika hasratnya semakin merosot, maka dia harus menghukumnyaagar tidak terulang, seperti kata seseorang kepada dirinya sendiri, “Mangapa engkau mengatakan sesuatu yang tidak perlu? Akan kuhukum jiwamu dengan puasa.” (ibid, hlm. 192)
Zuhud dan pendek angan-angan
Menurut Imam Al Ghazali, sebab-sebab manusia panjang angan-angan dan lalai dari mengenal Allah disebabkan oleh cinta dunia dan kebodohan. Ada seorang wanita yang menghadap Aisyah ra menanyakan obat bagi orang yang sedang mengalami kegelisahan. Maka Aisyah menjawab “Ingatlah mati”. Obat itu sungguh mujarab dan beberapa waktu kemudian wanita itu kembali datang menghadap Aisyah dengan wajah berseri-seri bahagia. (Al Ghazali, Metode Menjemput Maut, hlm. 29, penerbit Mizan cet. IX (2001))
Apa yang disinyalir oleh Al Ghazali juga dibenarkan oleh Imam Ibnul Qayyim. Beliau berkata, “Menyia-nyakan hati disebabkan dari sikap yang lebih memprioritaskan kehidupan dunia daripada akhirat, dan membiarkan waktu terbuang dengan anggapan esok masih ada (thulul amal). Yang dimaksud dengan kerusakan secara menyeluruh adalah kerusakan yang disebabkan memperturutkan hawa nafsu dan menganggap usianya masih panjang. Sedangkan seluruh nilai kebaikan dan kesalehan disebabkan senantiasa mengikuti petunjuk Allah dan bersiap diri untuk masa pertemuan dengan-Nya di akhirat.” (Ibnul Qayyim al-Jauziah, al-Fawaid, hlm. 112)
Hidup bersama orang-orang yang taat
Agar hati ini mau lurus, maka jalan pemaksaan yang lembut adalah hidup bersama orang-orang yang taat. Imam Syafi’i berkata, “Setiap orang pasti mempunyai orang yang ia cintai dan yang ia benci. Jika itu benar, maka seharusnya seseorang selalu bersama orang-orang yang taat kepada Allah Swt.” (Imam Nawawi, Bustanul Arifiin, hlm. 42)
Sebab tabiat itu bisa diibaratkan pencuri, yang bisa mencuri kebaikan dan keburukan. Hal ini dikuatkan dengan sabda Rasulullah Saw., “Seseorang itu berada pada agama teman karibnya. Maka hendaklah salah seorang di antara kalian melihat siapa yang menjadi temannya.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ahmad)
Apabila kita berbaur dengan orang-orang yang tidak sehat hatinya (qolbun maridh wa qolbun mayyit) penyakit menyebar kemana-mana dan ilmu pun hilang, obat hati dan penyakit hati sama-sama dibiarkan, manusia hanya sekedar melakukan ibadah-ibadah zhahir, sedangkan di dalam batinnya hanya sekedar tradisi. Inilah yang disebut tanda sumber penyakit. (Ibnu Qudamah, Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 193, Penerbit Pustaka Al Kautsar (1997))
Tiga tempat menghidupkan hati
Ibnu Mas’ud berkata kepada orang yang sedang gelisah hatinya, “Carilah hatimu di tiga tempat (kesempatan): Saat mendengar ayat-ayat al-Quran dikumandangkan, di majelis-majelis tempat orang berdzikir dan di saat engkau berada sendirian di tempat sunyi. Jika tidak kamu dapatkan hatimu di tempat-tempat ini, maka bermohonlah kepada Allah agar memberikan karunia hati, sebab pada dasarnya engkau tidak mempunyai hati.” (Ibnul Qayyim al-Jauziah, al-Fawaid, hlm. 148)
Dzikrullah
Sahl bin Abdullah berkata, “Saat itu aku masih berumur tiga tahun. Suatu malam aku bangun dari tidur dan menunggui shalat pamanku, Muhammad bin Siwar. Suatu hari paman berkata kepadaku, “Tidakkah engkau mengingat Allah yang telah menciptakan dirimu?”
“Bagaimana aku mengingat-Nya?” Aku balik bertanya.
Katakan di dalam hatimu tiga kali tanpa menggerakkan lidah, ‘Allah besertaku. Allah melihatku. Allah menyaksikanku.’”
Jika malam hari aku mengucapkan di dalam hati yang seperti itu, hingga dapat mengenal-Nya. Lalu paman berkata lagi kepadaku, “Ucapkan yang seperti itu setiap malam sebelas kali!”
Maka kulakukan sarannya, sehingga di dalam hati ada sesuatu yang terasa nikmat. Setahun kemudian paman berkata kepadaku, “Jaga apa yang sudah kuajarkan kepadamu dan terus laksanakan hingga engkau masuk ke liang kuburmu.”
Maka sarannya itu terus kulaksanakan hingga aku benar-benar merasakan kenikmatan di dalam batinku. Kemudian paman berkata kepadaku, “Wahai Sahl, siapa yang Allah besertanya, melihat dan menyaksikan dirinya, maka mana mungkin dia akan mendurhakainya? Jauhilah kedurhakaan.” Setelah itu aku melanjutkan perjalanan ke sekolah untuk menghafalkan Al-Quran, yang saat itu umurku baru enam atau tujuh tahun. Setelah itu aku banyak berpuasa, makan hanya dengan roti dan setiap malam mendirikan shalat. (Ibnu Qudamah, Mukhtashar Minhajul Qashidin, hlm. 200-201)
Puncak kesembuhan
Puncak dari kesembuhan hati ialah “merasakan di dalam hatinya bahwa Allah senantiasa besertanya.” (Ibid, hlm. 201)
Perisai
Kesembuhan itu memang diperlukan, namun ingatlah wahai sahabat, sesungguhnya setan itu tidak jemu-jemunya menggoda manusia. Lindungilah hatimu itu dengan perisai yang dapat melindunginya dari godaan-godaan setan, yaitu dengan “hidup menyendiri, melakukan amal-amal yang bisa digunakan untuk melawan hawa nafsu, banyak berdzikir dan membaca wirid.
Sumber: http://abu-farras.blogspot.com
wah, banyak juga permasalahan di hati kita tanpa disadari. waspadalah! waspadalah! kata bg nampi
hehe :)
Semoga Bermanfaat!!
Comments
Post a Comment